Rabu, 07 April 2010

Sosial budaya Indonesia


Pengertian Sosial Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya

Budaya khas Indonesia

Dalam kehidupan sosial manusia, damana saja dan kapan saja tidka lepas dari apa yang dinamakan konflik. Istilah konflik merupakan rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi maupun kelompok. Bahkan juga dapat diartikan benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan lain – lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih. Dalam sosiologi terdapat beberapa pelopor teori konflik di antaranya Lewis A Coser. Konflik social yang terjadi dalam masyarakat seringkali dianggap sebagai sesuatu yang negatif, dimana tindakan yang bersifat disassosiatif rentan terjadi. Namun anggapan itu dibantah keras oleh Coser. Menurutnya konflik tidak hanya bersifat negatif (disfungsional) tetapi konflik juga mempunyai segi positif (fungsional). Terhadap sistem sosial dalam masyarakat dan juga dapat memberikan sumbangan terhadap adaptasi dan ketahanan kelompoknya sehingga teori konflik oleh Coser sering disebut Teori fungsionalisme konflik sosial.
Akhir - akhir ini kita sering disuguhi dengan pemberitaan pilkada langsung yang diwarnai kerusuhan. Hampir diseluruh wilayah Indonesia, apabila akan dilakukannya pemilihan kepala daerah harus di iringi dengan perpecahan dan konflik. Seperti yang terjadi di Padang Sumatera Barat, pilkada berbuntut pada perusakan kantor KPUD setempat. Begitu pula halnya dengan yang terjadi di Depok, semarang dan sukoharjo, mataram, toli-toli dan masih banyak lagi daerah – daerah lain diIndonesia.
Konflik atau kerusuhan tersebut umumnya dikarenakan masyarakat terlalu diberi kebebasan yang berlebih dalam pemilu tersebut. Hal ini dikarenakan sistem demokrasi yang diterapkan diIndonesia tidak berjalan dengan semestinya. Walaupun masyarakat diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat tetapi seharusnya digunakan dengan baik. Walaupun pada hakikatnya demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan unutk rakyat namun tidak semua rakyat dapat berlaku cakap dalam dunia politik. Kerusuhan Pilkada yang berlangsung dalam beberapa waktu terakhir ini apabila diamati semua itu terjadi karena para pendukung calon kepala daerah tersebut tidak memiliki kecakapan dalam berpolitik, sehingga mereka tidak mampu untuk menerima kekalahan calonnya.
Contoh kasus diatas memperlihatkan atau lebih menonjolkan “kedisfungsionalan” sebuah konflik. Namun kasus tersebut dapat menjadi fungsional, karena menurut Coser konflik memiliki fungsi sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan sebuah mekanisme lewat mana kelompok dapat terbentuk dan tetap bertahan. Konflik juga dapat mencegah pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya inovasi dan kreativitas. Diikutsertakannya masyarakat dalam pemilihan kepala daerah memberikan sumbangsi besar baik bagi pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari tingginya animo masyarakat terhadap pemilu tersebut yang berdampak pada peningkatan sosialisasi politik masyarakat. Bagi pemerintah juga demikian, dengan pilkada tersebut pemimpin akan cepat tanggap dengan kondisi masyarakat karena pemimpin telah mengetahui struktur dan komposisi masyarakatnya. Dalam politik demokrasi, konflik atau perbedaan kepentingan yang ditimbulkan pilkada tidak hanya memberikan pelajaran politik bagi masyarakat tetapi juga merupakan strategi politik Negara demokratis. Konflik dalam praksis politik, khususnya pilkada sepertinya tidak mungkin dihindari apalagi untuk Negara sepertiIndonesia yang notabene memiliki multipartai politik.
Ada dua poin penting yang perlu diperhatikan dalam kasus pilkada ini, disatu sisi pilkada langsung dapat bersifat fungsional karena dapat memberikan sosialisasi politik dalam suasana yang demokratis dan juga sebagai sarana yang tepat bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang berdasarkan pilihan rakyat, namun disisi lain pilkada dapat menjadi boomerang bagi pemimpin yang terpilih apabila kebijakan atau janji – janji pada waktu kampanye sangat tidak sesuai dengan realita yang ada.
Meskipun konflik merupakan gejala yang alamiah dan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan sosial namun itu tak harus berkepanjangan. Sebaliknya, kehidupan sosial pada banyak tingkatan yang berbeda-beda memperlihatkan siklus dan perdamaian dan konflik persahabatan dan permusuhan. Motivasi untuk mengakhiri konflik dapat terjadi karena adanya keinginan untuk mencurahkan tenaganya untuk hal–hal lain. Proses penyelesaian dalam pilkada ini dapat dilakukan dengan mengubah konflik atau pertikaian menjadi sebuah hubungan yang assosiatif. Ada bebrapa bentuk atau cara untuk mengakhiri konflik yang terjadi pada pilkada yaitu dengan cara menghilangkan dasar konflik dari tindakan para pendukung yang berkonflik, yaitu dengan cara kompromi dan tidak menyinggung lawan masing-masing.
Kemenangan satu pihak tidak selalu berarti bahwa pihak yang kalah sama sekali kehilangan kekuatan untuk terus eksis. Kasus kerusuhan pilkada ini dapat diselesaikan melalui kompromi dari kedua belah pihak yang bertikai dengan cara tidak memberikan semua jabatan dalam pemerintah daerah hanya pada pihak yang menang dalam pemilihan saja tetapi pemerintahan bers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar